Daerah Ekonomi
Home / Ekonomi / Dari Hutan ke Harapan: Masyarakat Adat Aroba Sambut Investasi Sawit BSP sebagai Jalan Baru Kesejahteraan

Dari Hutan ke Harapan: Masyarakat Adat Aroba Sambut Investasi Sawit BSP sebagai Jalan Baru Kesejahteraan

 

Manokwari, Beritago.com — Babak baru tengah dimulai di Distrik Aroba, Kabupaten Teluk Bintuni. Masyarakat adat di wilayah itu kini menyambut hadirnya investasi perkebunan sawit dari PT. Borneo Subur Prima (BSP), yang mereka anggap sebagai peluang menuju kemandirian ekonomi tanpa meninggalkan akar budaya dan hak atas tanah adat.

Tiga tokoh adat terkemuka Distrik Aroba, yakni Vincensius Susure (Kepala Marga Susure), Tarsisius Motombre (Kepala Marga Motombre), dan Antonius Fenetiruma (Perwakilan Marga Kasina), menyatakan dukungan mereka terhadap kehadiran PT BSP dalam pertemuan di Manokwari, Selasa (28/10/2025).

“Dulu saat PT Farita Maju Utama buka kebun sawit di Sumuri, kami yang paling keras menolak. Tapi setelah waktu berjalan, kami lihat ada perubahan: anak-anak bisa sekolah, ekonomi bergerak. Sekarang kami sadar, investasi bukan berarti menjual tanah, tapi membuka jalan kesejahteraan,” tutur Vincensius Susure dengan nada reflektif.

Ia menegaskan bahwa keputusan mendukung BSP lahir dari musyawarah adat yang melibatkan seluruh marga. Masyarakat, katanya, tidak dipaksa menyerahkan tanah, melainkan menandatangani kesepakatan tertulis yang menjamin hak-hak adat, termasuk soal royalti, tenaga kerja lokal, dan pengembalian tanah setelah masa kontrak berakhir.

Majelis TPGR Papua Barat Ultimatum 10 Hari, Kerugian Negara Siap Dibawa ke APH Bila Tak Diselesaikan

“Kami serahkan sebagian tanah dengan perjanjian yang jelas. Setelah masa kontrak selesai, tanah kembali ke masyarakat. Tapi selama perusahaan beroperasi, kami ingin manfaatnya nyata,” tegasnya.

Nada serupa disampaikan Tarsisius Motombre, yang menilai kehadiran BSP sebagai bentuk rejeki di tengah keterbatasan ekonomi.
“Kamu punya modal, kami punya tanah. Mari duduk bicara baik-baik. Kami tidak jual tanah, hanya pakai untuk investasi yang bisa kasih manfaat bagi anak-anak kami,” ujarnya.

Tarsisius menambahkan, keputusan membuka diri terhadap investasi didorong oleh kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak mereka.
“Kami jaga pesan leluhur untuk rawat tanah dan hutan, tapi kami juga harus hidup. Kami ingin anak-anak kami bisa sekolah, jadi guru, dokter, insinyur. Itu mimpi kami,” katanya lirih namun penuh harapan.

Sementara itu, Antonius Fenetiruma dari Marga Kasina mengakui bahwa awalnya mereka menolak investasi sawit. Namun kini, melihat perkembangan ekonomi masyarakat di wilayah lain, mereka menilai investasi justru bisa membawa perubahan sosial dan kesejahteraan.
“Kami tidak serahkan semua tanah, hanya sebagian. Tapi kami ingin ada perubahan nyata. Kami juga ingin menikmati kesejahteraan seperti orang lain,” ujarnya.

Antonius berharap pemerintah daerah hadir sebagai penengah agar proses investasi berjalan adil dan berpihak pada masyarakat adat, tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan nilai budaya.

Meriah di Manokwari, Siswa dan Warga Tumpah Ruah di Pinggir Jalan: “Mas Wapres, Love You!”

Komitmen Perusahaan dan Pengawasan Lingkungan

Berdasarkan data yang diterima Beritago.com, PT. Borneo Subur Prima (BSP) memiliki lahan konsesi seluas 34.000 hektare di Distrik Sumuri dan Aroba, mencakup wilayah adat Suku Sumuri dan Irarutu. Dari total luas itu, lahan yang telah dibebaskan mencakup:

Marga Susure: ±2.500 hektare

Marga Motombre: ±4.000 hektare

Marga Kasina: ±3.100 hektare

Polda Papua Barat dan Kodam XVIII/Kasuari Gelar Apel Kesiapan Pasukan Pengamanan VIP Jelang Kunjungan Kerja Wakil Presiden RI di Manokwari

Wilayah tersebut meliputi Distrik Aroba mencakup Kampung Aroba dan Kampung Sangguar yang merupakan kawasan yang kini bersiap menata masa depan ekonomi berbasis investasi hijau dan tanggung jawab sosial. Sementara itu Distrik Sumuri masih dalam upaya negosiasi.

Max Soisa, SH, kuasa hukum PT BSP, menegaskan bahwa perusahaan menghormati pilihan masyarakat, baik yang menerima maupun menolak investasi.
“Kita tidak memaksakan. Itu hak masyarakat. Kami hadir untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat adat dan meningkatkan pendapatan daerah,” jelasnya.

Soisa menambahkan, perusahaan hanya memanfaatkan lahan berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) dan akan mengembalikan tanah kepada pemilik setelah masa kontrak berakhir.
“Perusahaan hanya pakai tanah. Saat masa kontrak habis, tanah kembali ke masyarakat,” tegasnya.

PT BSP juga berkomitmen menerapkan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, terutama terkait kebijakan kuota tenaga kerja 80:20 — di mana 80 persen pekerja harus berasal dari masyarakat Papua.

Selain itu, perusahaan berencana melibatkan Universitas Papua (Unipa) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) dalam penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bentuk pengawasan keberlanjutan ekosistem.

Menata Masa Depan dengan Kearifan Lokal

Bagi masyarakat adat Aroba, tanah bukan sekadar sumber daya ekonomi — melainkan identitas, sejarah, dan masa depan. Kini mereka tidak lagi menolak perubahan, tetapi berusaha menata narasi baru kesejahteraan yang tetap berpijak pada adat dan martabat manusia Papua.

“Kami tidak mau kehilangan jati diri, tapi kami juga tidak mau terus hidup dalam kesusahan. Saatnya Papua berdiri di atas tanahnya sendiri, dengan harapan baru,” tutup Vincensius Susure, penuh makna.[red]

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× Advertisement
× Advertisement