Manokwari, Beritago.com — Kasus kematian Indri (60), asisten rumah tangga di Wisma Jaya, Manokwari, membuka kesadaran warga Manokwari: praktik eksploitasi dan perbudakan modern ternyata masih hidup di Papua Barat. Polisi telah menetapkan tiga penghuni Wisma Jaya—Budi Cristian Gosyanto, istrinya Lusiana Lawrence, serta anak mereka Febrian Alfonsus Gosyanto—sebagai tersangka.
Hasil pendalaman aparat mengungkap pola perlakuan tidak manusiawi terhadap dua ART yang bekerja bagi keluarga tersebut. Salah satu saksi kunci, Wati, mengaku sudah 12 tahun bekerja tanpa pernah menerima gaji. Ia juga menyebut dirinya dan Indri(korban) dilarang berinteraksi dengan warga sekitar.
Plt Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Manokwari, Orpa Marisan, menegaskan temuan ini bukan hanya persoalan kriminal biasa, tetapi indikator bahwa praktik perbudakan modern masih bersembunyi di balik rumah-rumah yang tampak biasa di tengah kota.
“Bekerja belasan tahun tanpa upah, diberi makan,tapi makanan sisa, dikurung dari akses sosial—itu bukan sekadar pelanggaran. Itu perbudakan. Kami tidak bisa mentolerir satu inci pun praktik seperti ini,” tegas Orpa.
UPTD PPA kini memfasilitasi perlindungan penuh bagi Wati, saksi yang selamat termasuk memfasilitasi Psikiater untuk pemulihan mentalnya berkelanjutan. Pendampingan dilakukan sejak proses otopsi hingga pemakaman Ingrid. “Kami pastikan saksi berada dalam kondisi aman, stabil, dan didampingi secara hukum maupun psikologis,” ujarnya.
Terungkapnya Kematian Ingrid
Kasus ini mencuat setelah keluarga tersangka berupaya menguburkan jenazah Ingrid secara diam-diam pada Sabtu (29/11/2025). Kesaksian Wati semakin memperkuat dugaan bahwa peristiwa yang menimpa Ingrid terjadi secara brutal.
Pada pagi hari kejadian, Wati mendengar suara Ingrid memohon kesakitan. Ia turun dari lantai dua dan melihat Lusiana tengah melakukan kekerasan terhadap Ingrid. Korban sempat berusaha melawan sebelum akhirnya tak lagi mampu bernapas.
Kapolresta Manokwari Kombes Pol Ongky Isgunawan menjelaskan bahwa pemeriksaan forensik menemukan tanda-tanda kekerasan yang menyebabkan kegagalan pernapasan. Aparat menegaskan kekerasan itu terjadi saat korban masih hidup.
Rencana penguburan pun berlangsung janggal. Penggali kubur di TPU Pasir Putih, Hengky Baransano, mengaku curiga karena jenazah diletakkan begitu saja di bagasi mobil tanpa penanganan yang layak. Kecurigaannya mendorong ia melaporkan ke polisi, yang kemudian mengungkap rangkaian peristiwa sebenarnya.
Penolakan Luciana dan Pemasangan Pasal Berlapis
Saat diamankan, Lusiana sempat menolak ditangkap dan bersikeras bukan pelaku utama. Bahkan dalam konferensi pers, ia menantang penyidik untuk mempertemukannya dengan saksi Wati. Meski begitu, bukti-bukti membuat polisi tidak ragu menahan seluruh anggota keluarga tersebut.
Polisi menjerat ketiganya dengan rangkaian pasal berlapis, termasuk pembunuhan berencana, kekerasan dalam rumah tangga, dan penyembunyian kematian. Ancaman hukumannya maksimal.
Sinyal Keras UPTD PPA: “Tidak Ada Ruang Bagi Pelaku Eksploitasi”
Kasus Ingrid menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah. Orpa menegaskan bahwa pihaknya akan mendorong penanganan tuntas serta memastikan tidak ada lagi ruang bagi praktik eksploitasi berkedok pekerjaan domestik.
“Ini bukan lagi sekadar tragedi. Ini penanda bahwa pengawasan terhadap pekerja rumah tangga harus diperketat. Tidak boleh ada lagi cerita manusia diperlakukan seperti barang di rumah-rumah kita sendiri,” ujar Orpa.
Tragedi Ingrid membuka realitas pahit, tetapi juga momentum untuk menegakkan perlindungan manusia secara utuh. Cerita ini tidak berhenti di Wisma Jaya; justru menjadi titik awal untuk membongkar praktik serupa yang mungkin tersembunyi di tempat lain.[ars]





Comment